Minggu, 20 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 10

 


“YA pa?” Nayra berujar perlahan. Wajahnya masih terlihat jengkel. Aku bisa memahami kenapa Nayra merasa jengkel. Kami sedang berada di tahap yang sangat menyenangkan. Kami berada pada tahap ketika hasrat kami mulai memuncak. Dan semuanya ini terpaksa terhenti oleh panggilan telepon. Panggilan telepon dari Sunandar.

“Eh, apa kalian mau dibikinin kopi? Kebetulan aku lagi mau bikin kopi. Atau tanya Rei, dia mau kopi atau

teh?” Aku mendengar suara Sunandar.

Masih dengan wajah jengkel Nayra menatapku.

“Mau minum kopi atau teh?”

“Teh aja kayaknya. Kalau kopi takutnya aku gak bisa tidur sebentar,” ujarku.

“Teh aja kami berdua Pa,” kata Nayra. “Oke baik, ditunggu.”

Sepanjang yang aku tahu, Sunandar dan Nayra punya asisten rumah tangga. Tapi asisten rumah tangga ini hanya bekerja di siang hari dan tidak menginap. Rupanya saat ini si asisten sudah pulang dan Sunandar yang berinisiatif dan mengambil alih tugasnya.

“Tolong buka kuncinya dan buka pintunya sedikit,” kata Nayra kepadaku. Dia berujar lembut.

 Dia kemudian merapikan pakaiannya. Dia menurunkan kaosnya. Dia juga menurunkan rok yang tadi aku

anagkat.

Aku beranjak ke pintu dan membuka kuncinya. Aku juga membuka pintu itu sedikit.

Setelah itu aku kembali duduk di sofa. Kali ini aku sengaja duduk agak menjauh.

Sejenak kami saling pandang dan Nayra kembali tersenyum tersipu.

Wajahnya masih terlihat jengkel

karena gangguan yang dibuat suaminya, tapi dia tersenyum. “Yang tadi itu... enak banget,” kataku perlahan.

Nayra mengangguk.

“Iya, aku juga... merasakan hal yang sama. Nanti kita lanjutkan kapan-kapan...”

Aku mengangguk. Kami kembali terdiam.

Terdiam dalam kebekuan yang aneh.

Tadi kami baru saja bermesraan layaknya pasangan yang saling mencinta. Kini kami duduk dan

dipisahkan jarak. Kini kami seperti tidak tahu harus berkata apa. Tak lama kemudian Sunandar muncul. Bibir temanku itu tersenyum.

“Aku mengganggu ya?” Sunandar berujar sambil meletakkan gelas berisi teh ke depanku. Dia melakukan

hal yang sama kepada Nayra. Sunandar sendiri memilih gelas berisi kopi.

“Ah gak juga, kita baru mulai,” kata Nayra.

“Mari silakan Bang, ala kadarnya. Sayang biskuit kita udah habis...”

 “Makasih. Sebenarnya kamu gak perlu repot-repot bro,” kataku kepada Sunandar.

“Iya sih,” Sunandar menjawab sambil tersenyum. “Tadi aku kepingin bikin kopi dan aku teringat pada

kalian. Rasanya gak adil aku bikin kopi dan gak menawarkan kepada kalian...”

Aku mengangguk. Kalau saja Sunandar tidak terpikir untuk menawarkan kami minuman, entah apa yang

terjadi antara aku dan Nayra. Entah sudah berada di tahap mana aksi kami itu.

Aku melihat Nayra mereguk sedikit teh di gelasnya. Dia kemudian menoleh ke arahku.

“Jadi, yang manager keuangan, seperti apa dia?”

“Oh mbak Meuthia? Dia bagus,” jawabku. “Dia agak ketat dan kaku terkait pengeluaran. Tapi itu mungkin

bagus untuk perusahaan bukan?”

“Gimana sifatnya? Judes gak? Ramah?” Nayra kembali bertanya. “Biasa aja kayaknya. Gak ramah tapi gak judes juga...”

Selama beberapa saat, Nayra mengajukan pertanyaan demi pertanyaan kepadaku. Aku menjawab sebisanya.




Sabtu, 19 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 09

 


PERLAHAN, bibirku menyentuh bibirnya. Bibirku menyentuh dengan lembut.

Aku bisa merasakan kehalusan bibirnya. Aku bisa merasakan kelembutan bibirnya.

Aku kemudian merasakan adanya gerakan. Nayra balas menciumku. Dia balas mencium dengan kelembutan yang sama.

Aku bisa merasakan hisapan lembut yang dilakukan Nayra pada bibirku.

Sambil mencium, kedua tanganku terus beraksi. Tangan kananku masih meraba-raba bagian dalam

celana dalamnya, sementara tangan kiriku meremas bukit kembar sebelah kanan milik Nayra.

“Mmmhhh...”

Aku mendengar Nayra merintih. Rintihannya tertahan oleh bibir kami yang saling menyatu.

Aku merasakan pagutan bibirnya.

Aku membalas dengan pagutan yang sama. Aku mencium sambil terus meraba-raba.

Aku melakukan hal itu sambil memastikan di dalam diri bahwa ini nyata.

Bahwa saat ini aku benar-venar sedang bermesraan dengan Nayra. Bahwa saat ini aku sedang meraba-raba bagian tubuhnya yang paling pribadi, dan di saat yang sama sedang berciuman di bibir.

Aku bisa merasakan kalau ciuman Nayra yang tadinya lembut mulai berubah.

 Ciumannya kini berubah menjadi lebih beringas.

Kedua tangannya kini berada di belakang kepalaku. Kedua tangannya meremas rambut di belakang kepalaku.

Bibirnya kini mencium dengan ganas.

Aku bisa merasakan hisapan bibirnya pada bibirku. Dan tiba-tiba...

Sesuatu berbunyi.

Ada nada dering dari ponsel.

Itu bukan nada dering ponselku. Karena yang berbunyi bukan ponselku, itu artinya yang berdering adalah

ponsel Nayra.

Untuk sesaat kami seperti tidak peduli. Kami tetap berciuman. Bibir kami tetap saling pagut. Kedua tanganku terus meraba-raba.

Tapi panggilan telepon itu tidak juga berhenti. Akhirnya Nayra menarik dirinya.

Dia terlihat sedikit terengah. Dengan wajah jengkel dia mengambil ponsel yang diletakkan di atas meja. Aku sempat melirik dan melihat kalau yang barusan menelpon itu diberi nama “papa”. Itu artinya yang menelpon adalah Sunandar, suami Nayra.





Jumat, 18 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 08

 


AKU bisa merasakan jari tanganku menyentuh sesuatu yang lembut. Karena tertutupi kain rok, aku tak bisa memastikan apa persisnya yang aku sentuh. Karena itu, perlahan aku mengangkat rok panjang yang dikenakannya. Aku mengangkat dengan perlahan. Rok panjang coklat muda itu perlahan tapi pasti bergerak ke atas. Aku melihat kakinya mulai terbuka. Aku melihat tulang kering dan betisnya.

Kemudian lututnya. Kemudian pahanya.

Aku melihat sepasang paha yang indah. Aku melihat sepasang paha yang mulus. Paha yang putih.

Paha yang sangat putih, pertanda bagian itu tak pernah terkena sinar matahari.

Paha yang selama ini tertutup.

Aku terus mengangkat dan melihat itu. Pangkal paha Nayra.

Pangkal paha yang ditutupi celana dalam hitam mungil. Celana hitam mungil berenda. Jari tanganku segera menyentuh celana dalam hitam itu. Jari tanganku melakukan gerakan seperti menggaruk. Nayra menggeliat sedikit. Aku melanjutkan menggaruk. Kemudian, perlahan aku memasukkan jari tanganku ke dalam celana mungil hitam itu. Celana dalam mungil yang dikenakan Nayra ternyata cukup elastis. Jari tanganku bisa masuk dengan mudah. Tanganku menyentuh sesuatu yang seperti rambut halus.

 Selanjutnya, tanganku menyentuh sesuatu. Sesuatu yang lembut.

Sesuatu yang terasa seperti daging. Sesuatu yang agak basah.

“Geli Rei...”

Aku mendengar suara Nayra. Suara yang seperti bisikan. Dia kini menatapku. Matanya menatap sayu.

Bibirnya sedikit terbuka.

Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Aku mendekatkan bibirku ke wajahnya.





Kamis, 17 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 07

 


KARENA tidak mendapatkan penolakan, aku melanjutkan aksiku. Aku melakukan remasan. Jariku meremas bukit kembar sebelah kiri milik Nayra. Bersamaan dengan itu aku memutar telapak tanganku. Aku bisa merasakan mulai mengerasnya pucuk bukit kembar di telapak tanganku. Aku kemudian memindahkan telapak tanganku ke bukit kembar sebelah kiri. Aku melakukan hal yang sama. Aku meraba-raba. Aku melakukan remasan. Telapak tanganku menyentuh pucuk bukit yang juga sudah mengeras. Setelah itu tangan kananku kembali ke bukit kembar sebelah kiri dan melakukan hal yang sama. Tangan kiriku yang sejak tadi menganggur ikut meraba-raba bukit kembar sebelah kanan. Setelah tangan kiriku meraba-raba bukit kembar, tangan kananku bergerak ke bawah. Tangan kananku menelusuri perutnya.

alu terus ke bawah.

Tanganku menyentuh rok panjang yang dipakainya.

Rok panjang berwarna coklat muda. Rok yang terbuat dari kain yang halus. Tanganku kemudian mendarat di bagian itu. Ke bagian di antara kedua paha milik Nayra. Tentu saja, apa yang kulakukan saat ini merupakan tindakan yang tidak patut. Memegang dan menyentuh pangkal paha perempuan, meski itu masih ditutupi rok, tetap merupakan tindakan yang tidak patut. Apalagi aku melakukannya pada perempuan yang secara resmi merupakan atasanku. Merupakan bosku. Dan perempuan itu juga merupakan istri dari sahabatku.

 alau kemudian aku berani melakukannya, karena ini merupakan tindak lanjut dari apa yang aku lakukan sebelumnya. Aku sudah menyentuh bagian dadanya. Aku sudah menyentuh bukit kembar milik Nayra, yang sama seperti bagian di pangkal paha, seharusnya tak boleh aku sentuh. Nayra tidak memperlihatkan tanda kalau dia keberatan ketika bagian bukit kembar miliknya aku sentuh dan remas-remas. Seharusnya dia juga tidak keberatan ketika jari tanganku hinggap dan meraba-raba bagian pangkal pahanya.

Dugaanku benar. Nayra hanya membuka matanya sedikit ketika menyadari kalau tangan kananku sudah berada di pangkal pahanya dan mulai melakukan rabaan. Setelah membuka mata, dia kembali terpejam. Itu artinya, dia tidak mempersoalkan keberadaan tanganku di pangkal pahanya.





Rabu, 16 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 06

 


NAYRA membuka matanya sedikit ketika menyadari kalau aku mengangkat tangan kirinya yang digunakan untuk menutupi dadanya. Ketika membuka mata dia menatapku. Dia menatapku sekilas. Ketika menatapku, aku melihat rona tersipu di wajahnya. Dia terlihat malu-malu. Bibirnya menyungging senyum tersipu. Namun, hanya sebatas itu karena dia kemudian menutup matanya. Nayra tidak bersikeras untuk terus menutupi bagian dada dengan tangannya. Bahkan tangan kirinya yang tadi menutupi dan kuangkat, kini berada di samping tubuhnya. Karena tangan yang menutupi sudah kuangkat, bagian yang tadi tertutupi kini terbuka lebar. Aku menahan nafas. Aku merasa debar di dadaku semakin kencang. Di depanku kini ada pemandangan indah. Pemandangan indah yang tak terbayangkan.

Di depanku ada sepasang bukit kembar yang benar-benar indah. Tadi aku memang sempat melihat bagian ini. Tapi tadi aku hanya melihat sekilas karena Nayra langsung menutupi bagian itu dengan tangannya. Kini bagian itu tak lagi tertutupi. Aku melihat sepasang bukit kembar yang membusung. Bukit kembar yang mulus dan bersih. Bukit kembar dengan kulit yang putih. Pada pucuk bukit kembar itu aku melihat lingkaran kecil berwarna merah muda. Persis di tengah lingkaran itu aku melihat pucuk yang juga berwarna merah muda. Pucuk itu terlihat mengeras. Tegak dan mengeras.

Tanpa berkata apa-apa, perlahan aku mendekatkan telapak tangan kananku ke bukit kembar sebelah kiri.

 Aku melirik ke Nayra. Perempuan jelita yang kini menjadi bos-ku itu masih memejamkan mata. Telapak tanganku kemudian menyentuh bagian itu.

Bagian yang sangat indah. Bagian yang terasa kenyal. Bagian yang membusung indah.

Bagian yang seharusnya tak boleh aku sentuh.

Bagian yang seharusnya merupakan areal terlarang bagi laki-laki selain Januarta.

Aku menyentuh bagian itu dengan dada berdebar. Pada kondisi normal, jika seorang dengan sengaja menyentuh dan meraba-raba bagian dada perempuan lain, apalagi jika si perempuan sudah dewasa dan istri orang, hal itu merupakan pelanggaran. Itu merupakan tindakan yang bisa berujung pada tuntutan hukum. Perempuan yang disentuh secara sengaja di bagian dada punya hak untuk memaki, bahkan menampar lelaki kurang ajar yang melakukan itu. Bahkan, si perempuan bisa melaporkan hal itu kepada petugas keamanan.

Dalam kondisi normal, seharusnya reaksi Nayra adalah seperti itu. Marah dan tersinggung karena aku dengan sengaja menyentuh bagian yang memang tak boleh aku sentuh. Namun, yang terjadi saat ini sama sekali berbeda dengan apa yang seharusnya terjadi.





Selasa, 15 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 05

 


KARENA tadi Nayra mengangkat kaosnya, maka ketika berbalik, aku sekilas melihat perut yang putih mulus. Aku juga sempat melihat sepasang bukit kembar yang membusung indah. Bukit kembar berukuran besar. Aku juga melihat pucuk bukit yang indah. Pucuk yang berwarna merah muda. Aku hanya melihat sekilas karena dengan cepat Nayra menutupi bagian dadanya dengan tangan kiri.

Nayra tidak menurunkan kaosnya yang tadi diangkatnya. Dia memilih untuk menutupi bagian bukit kembar miliknya dengan tangan. Ketika menutupi dengan tangan, aku melihat Nayra sedikit tersipu. Karena dia tidak menurunkan kaosnya, aku menduga kalau Nayra ingin aku melanjutkan memijat. Karena itu, aku meletakkan tangan kananku ke perutnya. Sambil meletakkan tanganku di perut, aku menatap Nayra. Aku ingin tahu apa reaksinya ketika perutnya aku sentuh.

Reaksi Nayra adalah, dia diam. Dia berdiam diri.

Dia membiarkan tanganku menyentuh perutnya.

Sikap diam Nayra kuartikan kalau dia tidak keberatan perutnya aku sentuh. Mungkin dia juga ingin aku memijat perutnya. Dengan perlahan aku menggerakkan telapak tanganku. Telapak tanganku membuat gerakan berputar. Aku tidak tahu apakah perut perempuan itu memang biasa dan bisa dipijat. Karena itu, aku hanya melakukan sentuhan sambil memutar telapak tanganku. Aku melihat Nayra kini terpejam.

 Sepasang matanya terkatup. Dia seperti menikmati pijatan yang aku lakukan pada perutnya. Setelah beberapa saat memijat perut, aku memutuskan untuk memindahkan telapak tanganku. Perlahan telapak tanganku bergerak ke atas, melintasi bagian di antara dua bukit kembar. Telapak tanganku bergerak di bawah tangan kiri Nayra yang digunakan untuk menutupi bagian dadanya. Ketika bergerak melewati bagian di antara kedua bukit kembar, telapak tanganku menyentuh bagian tepi bukit kembar sebelah kiri dan kanan. Aku menyentuh antara sengaja dan tidak sengaja. Ketika menyentuh, aku melirik ke Nayra untuk melihat reaksinya. Nayra masih bersikap seperti sebelumnya. Dia memejamkan mata. Telapak tanganku bergerak hingga mendekati leher dan kembali turun ke bawah. Aku mengulangi gerakan tanganku ke atas dan ke bawah. Telapak tanganku sudah berkali-kali menyentuh bagian tepi bukit kembar milik Nayra.

Sama seperti sebelumnya, Nayra tidak bereaksi apa-apa. Aku kemudian memutuskan untuk melakukan sesuatu. Aku memutuskan untuk melakukan satu hal yang berani. Sangat berani.

Perlahan, tangan kananku mengangkat tangan kiri Nayra yang digunakan untuk menutupi bagian dadanya.




Senin, 14 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 04

 


AKU terdiam mendengar permintaan Nayra. Dia ingin aku memijat punggungnya. Sungguh ini bukan permintaan biasa. Meski belum menikah tapi aku tahu kalau memijat perempuan, apalagi memijat di punggung, itu sifatnya sangat pribadi. Biasanya yang boleh memijat punggung perempuan, apalagi perempuan yang sudah menikah, adalah pemijat profesional. Jika situasinya mendesak, maka yang bisa memijat adalah orang dekat si perempuan. Terutama suaminya. Yang kini terjadi sedikit berbeda. Nayra meminta pertolonganku untuk memijatnya. Padahal, suaminya berada di rumah ini. Siswanto sang suami berada di bawah di lantai satu. Kenapa Nayra memintaku untuk memijatnya dan bukannya Siswanto suaminya? Pertanyaan itu belum terjawab atau tidak terjawab karena Nayra kemudian berpaling memunggungiku.

Dia kemudian mengangkat kaos yang dipakainya. Kaos itu terangkat.

Aku tertegun. Aku terdiam.

Ketika kaos diangkat, aku melihat punggung yang putih. Punggung yang bening.

Punggung yang mulus.

Pada punggung itu aku tidak melihat tali BH sebagaimana yang seharusnya. Itu artinya, Nayra tidak mengenakan BH!!

Ketika tadi untuk pertama kali mendatangi rumah ini dan melihat Nayra, aku tidak mendapati tanda kalau

 dia tidak mengenakan BH. Biasanya perempuan yang tidak memakai BH itu akan terlihat dari pakaian atau kaos yang dikenakan. Namun, rupanya, kaos yang dipakai Nayra ini cukup tebal sehingga bisa menyamarkan bagian dada yang tidak ditutupi BH.

“Tolong pijatin punggungku,” Nayra kembali berujar perlahan. “Apa... kita tak perlu pakai minyak?” Aku bertanya, juga dengan perlahan. Aku belum punya pengalaman dalam memijat perempuan tapi yang aku tahu, untuk urusan mijat-memijat itu biasanya perlu minyak.

“Gak perlu pakai minyak. Pijat aja,” Nayra berkata.

Aku mengangguk dan segera menyadari kalau Nayra yang membelakangiku tak bisa melihat anggukanku. Dengan dada berdebar aku mengarahkan kedua tanganku ke punggungnya. Dengan hati-hati aku menyentuh punggung yang putih mulus itu. Aku menyentuh dengan perlahan, seolah takut kalau sentuhanku akan mengurangi kemulusan dan keindahan punggung itu.

“Kok pelan amat mijatnya? Yang keras dong. Yang bertenaga...” Nayra berkata, kini dengan suara agak ketus.

Aku mengeraskan pijatanku. Karena belum punya pengalaman dalam memijat dan tak tahu bagaimana caranya, aku melakukan pijatan mengikuti naluri. Aku menekankan ibu jariku ke bagian tertentu dari punggung. Sesekali aku menekankan bagian bawah telapak tanganku.

 “Ya gitu. Seperti itu. Ke atas dikit, atas lagi, ya di situ...” Nayra memberi aba-aba.

Aku melanjutkan aksi memijat. Aku bisa melihat kalau bagian yang kupijat berubah kemerahan. Bagian yang tadinya putih mulus berubah menjadi kemerahan. Aku memijat sambil memindahkan tanganku ke atas dan ke bawah. Aku tak tahu bagian mana yang perlu dipijat namun aku melakukannya dengan sungguh-sungguh. Setelah beberapa saat Nayra tiba-tiba berbalik. Tubuhnya bersandar di sofa.




Minggu, 13 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 03

 


AKU tiba di lantai dua dengan dada sedikit berdebar. Ini yang pertama kali aku menginjakkan kaki di lantai dua rumah ini. Meski aku sudah belasan kali atau mungkin lebih dari dua puluh kali berkunjung ke rumah Siswanto tapi biasanya kami berbincang di ruang tamu, atau menonton di ruangan khusus yang berada di dekat dapur. Selama ini Siswanto tak pernah mengajak aku ke lantai dua rumahnya. Ruangan di lantai dua ini terlihat asri dengan perabotan yang berkelas. Sofa dan meja tertata rapi, juga hiasan dinding berupa kombinasi kayu dan lukisan.

Aku tidak melihat Nayra di ruangan ini sehingga bisa dipastikan kalau ruangan kerjanya tidak terada di sini. Ada dua kamar yang terletak di sebelah kiri. Salah satunya pintunya terbuka. Perlahan aku berjalan ke pintu yang terbuka. Di dalam aku melihat Nayra yang duduk di sofa.

“Sini bang...”

Dengan perlahan, dengan agak canggung aku memasuki ruangan itu. Samar aku mencium aroma harum. Aku juga merasa ada nuansa sejuk.

“Tolong tutup pintunya...” Nayra kembali berujar.

Tanpa berkata apa-apa aku menutup pintu. Aku segera menyadari kenapa Nayra memintaku menutup pintu. Ruangan yang menjadi tempat kerja Nayra dilengkapi AC. Sementara di luar rupanya tidak.

 Seharusnya ruangan ber-AC memang pintunya harus ditutup. Kalau tadi pintunya terbuka karena Nayra ingin memberi tanda kalau ini ruangan yang dimaksud.

“Kunci pintunya...” Kembali Nayra berujar setengah memerintah.

Meski merasa sedikit heran namun dengan patuh aku mengunci pintu. Menutup pintu merupakan hal yang wajar. Tapi mengunci? Setelah pintu dikunci, aku mendekati Nayra. Dengan tatapan matanya dia memberi isyarat agar aku duduk di sampingnya. Samar aku kembali mencium aroma harum. Kali ini aroma harum yang terpancar dari tubuh Nayra.

“Jadi kita mau ngomong apaan jika abang gak bawa laptop?” Nayra bertanya.

“Mmm... mungkin ibu bisa bertanya apa aja dan nanti aku coba jawab sebisa mungkin,” kataku.

“Ibu? Sejak kapan aku jadi ibu kamu?” Nayra mengajukan pertanyaan yang membuat aku terdiam.

Biasanya, jika mendatangi rumah ini aku menyapa Nayra dengan ‘mbak’. Tapi karena dia bakal menjadi bosku, bakal menjadi atasanku, aku pikir merupakan hal yang wajar jika aku menyapanya dengan ‘ibu’ dan bukannya ‘mbak’ seperti sebelumnya. Tapi rupanya, entah karena alasan apa, Nayra enggan disapa ‘ibu’.

“Jadi, aku harus menyapa dengan sebutan apa, Bu?” Aku mengajukan pertanyaan dengan perlahan.

 “Ba bu ba bu...” Nayra menjawab masih dengan nada kesal.

“Maaf, kalau begitu aku menyapa dengan mbak aja? Atau bibi?” Aku bertanya setengah bercanda.

Sepasang mata Nayra melotot mendengar pertanyaanku. Namun, aku melihat ada senyum di bibirnya.

“Karena kamu gak bawa laptop, kita gak usah bicara tentang kantor,” kata Nayra. “Aku mau minta tolong...”

“Jika ada yang bisa aku bantu, tentu akan aku bantu,” aku menjawab sesopan mungkin.

“Aku pingin kamu memijat aku. Memijat punggungku.”




Sabtu, 12 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 02

 


SEHARI setelah serah terima jabatan yang dirangkaikan dengan acara pisah sambut, Siswanto menelponku.

“Ya bro?”

“Kamu bisa gak ke rumahku sebentar malam?” Terdengar suara Siswanto.

“Emangnya kenapa bro? Kamu ada film baru?”

“Gak. Nayra barusan nelpon, dia bilang bisa gak kamu ke rumahku sebentar malam? Dia mau tanya-tanya

tentang kantor...” “Oh ya?”

“Iya. Dia pingin dengar cerita kamu tentang kantor, apa aja yang terjadi, gimana suasananya, yang

semacam itu. Dia juga pingin tau tentang para karyawan terutama para manajer. Dia ingin tau langsung dari

kamu...” Siswanto berujar panjang lebar. “Oh oke, jam berapa sebaiknya aku ke sana?”

“Ya terserah kamu tapi mungkin sekitar pukul delapan malam aja...” “Oke sob, setengah delapan aku on the way dari rumah.”

Telepon dari Siswanto memang terdengar agak aneh tapi aku bisa memahami. Merupakan hal yang wajar jika Nayra sebagai pimpinan yang baru, ingin tahu lebih banyak tentang situasi di tempatnya bakal memimpin. Biasanya, hal terkait seluk-beluk kantor bisa diketahui secara langsung seiring bergulirnya waktu. Namun, rupanya Nayra ingin segera tahu hal terkait kantor. Dia tak ingin membuang waktu. Dan dia ingin mendengar secara langsung dariku, satu-satunya sosok

 di kantor yang dikenalnya. Malamnya, sekitar setengah delapan aku memacu sepeda motorku. Selain motor aku juga punya mobil tapi untuk malam ini aku memilih membawa motor yang aku pikir lebih lincah dan gesit. Dengan motor aku tak perlu terlalu takut dengan kemacetan. Sekitar sepuluh menit kemudian aku tiba di kediaman Siswanto. Kediaman Siswanto seperti biasa terlihat asri. Dengan taman kecil yang diterangi lampu yang membuat suasana menjadi sangat indah dan cantik. Di dekat taman ada garasi berisi mobil berwarna merah. Aku baru saja mengetuk ketika pintu terbuka. Siswanto yang membukakan pintu. Di ruang tamu aku melihat Nayra yang duduk di sofa sambil menatap ponselnya. Nayra mengenakan kaos lengan panjang berwarna hitam dengan rok panjang berwarna coklat muda. Dia mengenakan penutup kepala berwarna coklat. Nayra menatapku sekilas dan mengangguk sedikit sambil kembali menatap ke ponselnya.

“Jadi kalian mau ngomong di sini atau di mana?” Siswanto bertanya setelah untuk sejenak ada kesunyian yang canggung.

“Kita bicara di ruang kerjaku aja supaya lebih nyaman,” kata Nayra. Dia kemudian menatapku. “Abang gak bawa laptop?”

“Eh... aku...” Aku menjawab tergagap.

Aku memang datang tanpa membawa laptop karena tak tahu apakah untuk percakapan ini aku memerlukan laptop.

“Gimana kita mau bicara jika abang gak bawa laptop? Setidaknya bawa foto-foto karyawan atau apa kek...”

 Nayra berujar dengan nada ketus. Dia terlihat kesal dan tak berniat menyembunyikan kekesalannya.

“Kan ini baru percakapan awal Ma, nanti selanjutnya Rei bawa laptopnya. Lagian Mama juga tadi waktu nelpon gak bilang kalau Rei perlu bawa laptop,” Siswanto menjawab dan bertindak sebagai juru bicaraku.

“Iya tapi kan dia bukan anak kecil yang harus diberi pesan secara rinci. Seharusnya kan bisa mikir...”

Nayra lagi-lagi menjawab ketus. Kini dia menyebutku dengan ‘dia’. Padahal sebelumnya dia menyapaku dengan sebutan ‘abang’.

Nayra kemudian berdiri dan tanpa berkata apa-apa dia berjalan melewatiku menuju ke tangga yang mengarah ke lantai dua. Aku yang merasa tidak diajak berdiam diri dengan canggung. Siswanto menggerakkan tangannya memberi isyarat agar aku mengikuti Nayra.

“Jangan diambil hati ya bro, dia memang terkadang suka gitu. Suka galak tanpa alasan...” Siswanto berujar setengah berbisik begitu aku melewatinya.

Aku mengangguk dan perlahan berjalan ke tangga.




Jumat, 11 April 2025

Bosku, Istri Temanku - Part 01


“HEI Rei, dengar-dengar bos kita yang baru itu teman kamu ya?” Aku melirik. Yang bertanya adalah Sunandar, teman sekantor yang duduk tak jauh dari tempatku.

“Mmm, maksudnya ibu Nayra? Nayra Aristia? Sebenarnya yang benar itu aku berteman dengan suaminya, Siswanto,” jawabku.

“Lho berteman dengan suaminya artinya kamu juga temenan dengannya bukan?”

“Gak juga,” jawabku. “Aku memang sering ke rumah Siswanto tapi biasanya aku hanya ngobrol dengan dia aja. Dengan ibu Nayra gak. Atau paling hanya ngomong basa-basi aja...”

“Katanya dia cantik banget ya?” Sunandar mengejarku dengan pertanyaan.

Aku mengangguk. “Oh iya, dia cantik. Sangat cantik malah. Nanti kamu liat sendiri deh.”

“Galak gak?”

“Gak tau juga sih tapi kayaknya gak. Dia malah terkesan pemalu dan pendiam. Tapi kita tunggu aja gimana...”

Selang beberapa hari terakhir memang ada kabar yang menyebut kalau akan ada pergantian pimpinan pada kantor tempat aku bekerja. Kepala cabang yang lama, pak Mochtar akan memasuki usia pensiun. Kabar yang santer beredar adalah, pengganti pak Mochtar itu datang dari kantor pusat. Hanya ada satu nama yang beredar dan dia adalah Nayra Aristia. Seperti yang kusampaikan pada Sunandar, aku berteman dengan Siswanto, suami Nayra. Kami berteman baik sejak kuliah. Pertemanan tetap terjaga meski kami sama-sama sudah bekerja. Setidaknya sekali dalam seminggu aku selalu berkunjung ke

 rumah Siswanto untuk bersantai main catur, nonton film atau hanya sekedar ngobrol membicarakan urusan politik atau sepak bola.

Siswanto punya ruangan khusus kedap suara yang dijadikan semacam bioskop, dilengkapi televisi layar datar berukuran besar. Jika Siswanto mengunduh film baru dia akan mengajakku untuk nonton.

Kebetulan kami punya selera yang sama yakni sama-sama suka nonton film aksi tembak-tembakan. Karena sering berkunjung aku tentu saja mengenal Nayra, istri Siswanto. Hubungan aku dengan Nayra hanya sebatas kenal. Biasanya kami hanya saling bersapa ketika Nayra membukakan pintu untukku. Atau ketika dia datang membawa minuman dan makanan ringan. Selebihnya aku dan Nayra tak pernah bicara, apalagi pembicaraan panjang lebar. Biasanya jika aku dan Siswanto bermain catur, Nayra akan duduk tak jauh dari kami sambil menonton televisi atau asyik dengan ponsel. Hal yang kurang lebih sama dilakukan Nayra ketika aku dan Siswanto berbincang ringan. Nayra hanya duduk menjauh dan sama sekali tidak terlibat dalam percakapan. Nayra bahkan sama sekali tidak terlibat jika aku dan Siswanto memutuskan untuk nonton film Pernikahan Siswanto dan Nayra sudah dikaruniai satu anak laki-laki yang kini duduk di kelas 6 SD. Kabar bahwa Nayra akan menjadi bosku terkonfirmasi oleh Siswanto sendiri, yang menelponku beberapa hari kemudian.

“Hai, bro, kamu udah tau kan, Nayra akan jadi bos kamu?” Siswanto berujar melalui telepon seluler.

“Iya, kami dapat kabar katanya gitu. Gimana, udah positif? Udah pasti?” Aku berujar sambil bertanya.

 “Iya, udah pasti. Nayra udah terima SK pengangkatan,” kata Siswanto. “Dia dan pak Mochtar udah membicarakan kapan sebaiknya serah terima jabatan sekaligus acara pisah sambut.”

“Wah keren...”

“Nanti kamu bantu-bantu Nayra ya? Dia kan rada pemalu dan pendiam. Kamu satu-satunya orang yang dia kenal di kantor kamu,” kata Siswanto.

“Tentu saja aku akan bantu. Kan dia bos aku. Mau gak mau harus aku bantu, hehe,” kataku.

“Hehe, ya udah. Kapan kamu datang?” “Mungkin Jumat malam aja seperti biasa.” “Oke... oke...”