SEHARI setelah serah terima jabatan yang dirangkaikan dengan acara pisah sambut, Siswanto menelponku.
“Ya bro?”
“Kamu bisa gak ke rumahku sebentar malam?” Terdengar suara Siswanto.
“Emangnya kenapa bro? Kamu ada film baru?”
“Gak. Nayra barusan nelpon, dia bilang bisa gak kamu ke rumahku sebentar malam? Dia mau tanya-tanya
tentang kantor...” “Oh ya?”
“Iya. Dia pingin dengar cerita kamu tentang kantor, apa aja yang terjadi, gimana suasananya, yang
semacam itu. Dia juga pingin tau tentang para karyawan terutama para manajer. Dia ingin tau langsung dari
kamu...” Siswanto berujar panjang lebar. “Oh oke, jam berapa sebaiknya aku ke sana?”
“Ya terserah kamu tapi mungkin sekitar pukul delapan malam aja...” “Oke sob, setengah delapan aku on the way dari rumah.”
Telepon dari Siswanto memang terdengar agak aneh tapi aku bisa memahami. Merupakan hal yang wajar jika Nayra sebagai pimpinan yang baru, ingin tahu lebih banyak tentang situasi di tempatnya bakal memimpin. Biasanya, hal terkait seluk-beluk kantor bisa diketahui secara langsung seiring bergulirnya waktu. Namun, rupanya Nayra ingin segera tahu hal terkait kantor. Dia tak ingin membuang waktu. Dan dia ingin mendengar secara langsung dariku, satu-satunya sosok
di kantor yang dikenalnya. Malamnya, sekitar setengah delapan aku memacu sepeda motorku. Selain motor aku juga punya mobil tapi untuk malam ini aku memilih membawa motor yang aku pikir lebih lincah dan gesit. Dengan motor aku tak perlu terlalu takut dengan kemacetan. Sekitar sepuluh menit kemudian aku tiba di kediaman Siswanto. Kediaman Siswanto seperti biasa terlihat asri. Dengan taman kecil yang diterangi lampu yang membuat suasana menjadi sangat indah dan cantik. Di dekat taman ada garasi berisi mobil berwarna merah. Aku baru saja mengetuk ketika pintu terbuka. Siswanto yang membukakan pintu. Di ruang tamu aku melihat Nayra yang duduk di sofa sambil menatap ponselnya. Nayra mengenakan kaos lengan panjang berwarna hitam dengan rok panjang berwarna coklat muda. Dia mengenakan penutup kepala berwarna coklat. Nayra menatapku sekilas dan mengangguk sedikit sambil kembali menatap ke ponselnya.
“Jadi kalian mau ngomong di sini atau di mana?” Siswanto bertanya setelah untuk sejenak ada kesunyian yang canggung.
“Kita bicara di ruang kerjaku aja supaya lebih nyaman,” kata Nayra. Dia kemudian menatapku. “Abang gak bawa laptop?”
“Eh... aku...” Aku menjawab tergagap.
Aku memang datang tanpa membawa laptop karena tak tahu apakah untuk percakapan ini aku memerlukan laptop.
“Gimana kita mau bicara jika abang gak bawa laptop? Setidaknya bawa foto-foto karyawan atau apa kek...”
Nayra berujar dengan nada ketus. Dia terlihat kesal dan tak berniat menyembunyikan kekesalannya.
“Kan ini baru percakapan awal Ma, nanti selanjutnya Rei bawa laptopnya. Lagian Mama juga tadi waktu nelpon gak bilang kalau Rei perlu bawa laptop,” Siswanto menjawab dan bertindak sebagai juru bicaraku.
“Iya tapi kan dia bukan anak kecil yang harus diberi pesan secara rinci. Seharusnya kan bisa mikir...”
Nayra lagi-lagi menjawab ketus. Kini dia menyebutku dengan ‘dia’. Padahal sebelumnya dia menyapaku dengan sebutan ‘abang’.
Nayra kemudian berdiri dan tanpa berkata apa-apa dia berjalan melewatiku menuju ke tangga yang mengarah ke lantai dua. Aku yang merasa tidak diajak berdiam diri dengan canggung. Siswanto menggerakkan tangannya memberi isyarat agar aku mengikuti Nayra.
“Jangan diambil hati ya bro, dia memang terkadang suka gitu. Suka galak tanpa alasan...” Siswanto berujar setengah berbisik begitu aku melewatinya.
Aku mengangguk dan perlahan berjalan ke tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar