“YA pa?” Nayra berujar perlahan. Wajahnya masih terlihat jengkel. Aku bisa memahami kenapa Nayra merasa jengkel. Kami sedang berada di tahap yang sangat menyenangkan. Kami berada pada tahap ketika hasrat kami mulai memuncak. Dan semuanya ini terpaksa terhenti oleh panggilan telepon. Panggilan telepon dari Sunandar.
“Eh, apa kalian mau dibikinin kopi? Kebetulan aku lagi mau bikin kopi. Atau tanya Rei, dia mau kopi atau
teh?” Aku mendengar suara Sunandar.
Masih dengan wajah jengkel Nayra menatapku.
“Mau minum kopi atau teh?”
“Teh aja kayaknya. Kalau kopi takutnya aku gak bisa tidur sebentar,” ujarku.
“Teh aja kami berdua Pa,” kata Nayra. “Oke baik, ditunggu.”
Sepanjang yang aku tahu, Sunandar dan Nayra punya asisten rumah tangga. Tapi asisten rumah tangga ini hanya bekerja di siang hari dan tidak menginap. Rupanya saat ini si asisten sudah pulang dan Sunandar yang berinisiatif dan mengambil alih tugasnya.
“Tolong buka kuncinya dan buka pintunya sedikit,” kata Nayra kepadaku. Dia berujar lembut.
Dia kemudian merapikan pakaiannya. Dia menurunkan kaosnya. Dia juga menurunkan rok yang tadi aku
anagkat.
Aku beranjak ke pintu dan membuka kuncinya. Aku juga membuka pintu itu sedikit.
Setelah itu aku kembali duduk di sofa. Kali ini aku sengaja duduk agak menjauh.
Sejenak kami saling pandang dan Nayra kembali tersenyum tersipu.
Wajahnya masih terlihat jengkel
karena gangguan yang dibuat suaminya, tapi dia tersenyum. “Yang tadi itu... enak banget,” kataku perlahan.
Nayra mengangguk.
“Iya, aku juga... merasakan hal yang sama. Nanti kita lanjutkan kapan-kapan...”
Aku mengangguk. Kami kembali terdiam.
Terdiam dalam kebekuan yang aneh.
Tadi kami baru saja bermesraan layaknya pasangan yang saling mencinta. Kini kami duduk dan
dipisahkan jarak. Kini kami seperti tidak tahu harus berkata apa. Tak lama kemudian Sunandar muncul. Bibir temanku itu tersenyum.
“Aku mengganggu ya?” Sunandar berujar sambil meletakkan gelas berisi teh ke depanku. Dia melakukan
hal yang sama kepada Nayra. Sunandar sendiri memilih gelas berisi kopi.
“Ah gak juga, kita baru mulai,” kata Nayra.
“Mari silakan Bang, ala kadarnya. Sayang biskuit kita udah habis...”
“Makasih. Sebenarnya kamu gak perlu repot-repot bro,” kataku kepada Sunandar.
“Iya sih,” Sunandar menjawab sambil tersenyum. “Tadi aku kepingin bikin kopi dan aku teringat pada
kalian. Rasanya gak adil aku bikin kopi dan gak menawarkan kepada kalian...”
Aku mengangguk. Kalau saja Sunandar tidak terpikir untuk menawarkan kami minuman, entah apa yang
terjadi antara aku dan Nayra. Entah sudah berada di tahap mana aksi kami itu.
Aku melihat Nayra mereguk sedikit teh di gelasnya. Dia kemudian menoleh ke arahku.
“Jadi, yang manager keuangan, seperti apa dia?”
“Oh mbak Meuthia? Dia bagus,” jawabku. “Dia agak ketat dan kaku terkait pengeluaran. Tapi itu mungkin
bagus untuk perusahaan bukan?”
“Gimana sifatnya? Judes gak? Ramah?” Nayra kembali bertanya. “Biasa aja kayaknya. Gak ramah tapi gak judes juga...”
Selama beberapa saat, Nayra mengajukan pertanyaan demi pertanyaan kepadaku. Aku menjawab sebisanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar